Jumat, 25 Juni 2021

Yadnya Kasada, Upacara Sesembahan Umat Hindu Tengger di Bromo

upacara adat yadnya kasada hindu tengger di gunung bromo
Acara sesembahan dan ritual kurban ke Kawah Gunung Bromo. Photo: Wahyu Gunawan

Hari Raya Yadya Kasada adalah sebuah hari upacara sesembahan berupa persembahan sesajen kepada Sang Hyang Widhi. Yadnya Kasada adalah upacara keagamaan umat Hindu Tengger dengan ritual kurban ke kawah Gunung Bromo, diselenggarakan setiap tahun pada bulan Kasada hari ke 14 penanggalan Jawa.

Kasada atau Kasodo, adalah upacara adat persembahan korban atau sesajian ke Kawah Gunung Bromo dari masyarakat Hindu Tengger sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Hyang Widi, Leluhur dan Alam Semesta.Kasada bukan hanya doa dan syukur tetapi juga sebagai janji yang harus ditepati dari Orang Tengger kepada Tuhan

Legenda dan Sejarah Tengger (Roro Anteng dan Joko Seger)

Masyarakat Tengger telah melaksanakan upacara Yadnya Kasada secara turun menurun dari awal kehadiran mereka di kawasan Tengger sejak masa Kerajaan Majapahit, diperkirakan sekitar abad ke 13 Masehi. Ada banyak versi yang mengisahkan asal-usul orang Tengger, baik dalam bentuk sejarah ataupun legenda cerita rakyat yang telah diyakini secara turun menurun hingga sekarang. Salah satu rujukannya melalui "Legenda dan Religi Sebagai Media Integrasi Bangsa" di jurnal Humaniora, Vil. 13 No.1 2001 oleh Sudiro.

Legenda Tengger mengisahkan Rara Anteng, putri raja Brawijaya dari kerajaan Majapahit yang bertemu dengan Joko Seger, putra seorang Brahmana dari Kediri, selanjutnya mereka berdua menjadi suami istri yang sekaligus sebagai cikal bakal atau pendiri masyarakat Tengger.

Rara Anteng (Teng) dan Joko Seger (Ger) yang kemudian dipadukan menjadi Tengger, sangat melekat dihati sebagai cikal bakal orang Tengger, sehingga keduanya tidak dianggap sebagai legenda lagi. Nama Tengger juga mencerminkan masyarakat yang hidup sederhana, tenteram, damai, bergotong-royong dengan toleransi tinggi dan suka bekerja keras.

Sebab situasi yang semula aman dan berubah menjadi kacau, kedua insan ini akhirnya memutuskan meninggalkan kerajaannya dan menuju kawasan pegunungan Tengger. Roro Anteng meninggalkan keraton Majapahit menuju Desa Krajan dan menetap selama 8 tahun, melanjutkan kehidupan barunya sebagai petani di Penanjakan.

Hal yang sama juga terjadi pada Joko Seger yang berasal dari Kediri, meninggalkan kerajaannya menuju Desa Kedawung. Dari tempat inilah dia mendapat informasi bahwa orang-orang Majapahit berada di Pananjakan. Dari tempat inilah, akhirnya keduanya bertemu dan akhirnya menikah.

Meskipun usia pernikahan cukup lama, Rara Anteng dan Joko Seger belum juga diberi karunia anak. Upaya memohon doa dilakukan dengan cara bersemedi di Gunung Widodaren. Keduanya bersepakat dan berjanji jika kelak Tuhan mengaruniai anak mereka bersedia mengorbankan seorang anaknya. Permohonannya terkabul hingga diberi keturunan 25 orang anak tetapi melupakan janji sebelumnya untuk mengorbankan salah satu anaknya.

Suatu kejadian aneh terjadi, seorang anaknya yang bungsu bernama Raden Kusuma hilang masuk ke kawah Gunung Bromo, melalui kawah Gunung Bromo itulah terdengar pesan suara dari Raden Kusuma bahwa, " Keturunan Rara Anteng dan Joko Seger atau masyarakat Tengger dapat hidup aman sejahtera bila pada waktu yang ditentukan memberikan korban ke kawah Gunung Bromo".

Korban ke Kawah Gunung Bromo dapat diartikan berupa barang-barang tertentu dari hasil bumi atau hewan. Kebiasaan masyarakat Tengger memberikan korban ke kawah Gunung Bromo adalah realisasi dari legenda Rara Anteng - Joko Seger untuk memenuhi permintaan Kusuma. Legenda di Tengger adalah kepercayaan atau mitos sedangkan realitas dalam masyarakat Tengger dapat dilacak dari peristiwa sejarahnya.

Sejarah Tengger, sangat kurang didukung oleh bukti historis dan bukti arkeologis karena berdasar pada budaya tutur (bercerita) lebih kuat ketimbang budaya menulis (mencatat). Kekurangan informasi dan bukti menjadikan pemecahan masalah alternatif ditempuh melalui informasi legenda.

Bukti adanya punden menyatakan bahwa orang Tengger pernah memiliki kepercayaan Jawa Kuno, dan baru pada abad kesepuluh Masehi pengaruh Hindu sampai kepada masyarakat Tengger Gunung Bromo. Bukti sejarah berupa prasasti Tengger tahun 929 M menyatakan bahwa Desa Walandid di Pegunungan Tengger adalah tempat suci karena desa itu dihuni oleh para pengikut agama Hindu. Dan kesucian desa ini telah diakui oleh Keraton Majapahit, warga desa sebagai masyarakat beragama (hulun hyang, Abdi Tuhan) dan dianggap melaksanakan pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu, mereka dibebaskan dari pembayaran pajak kepada keraton Majapahit.

Seiiring perkembangan jaman dan keruntuhan kerajaan Majapahit pada akhir abad 15 (1478 - 1518), pada masa itu agama Hindu Tengger ikut mengalami kesuraman seiring dengan berkembangnya kerajaan Islam di Jawa. Terjadi banyak peperangan dan pemberontakan, pemberontakan Trunajaya 1680 M dan Untung Surapati 1706 M, para perlarian dari pemberontakan itu menyingkir ke Tengger dan berintegrasi dengan masyarakat setempat.

Dengan banyaknya pendaang di kawasan Tengger maka terdapat kekhawatiran tentang ketenteraman hidup pada masyarakat. Dalam situasi seperti ini para dukun menggunakan upacara adat Tengger untuk mempersatukan seluruh masyarakat Hindu di kawasan pegunungan Tengger.

wisata banyuwangi kawah ijen dan baluran

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Wisata Gunung Bromo | info@explorebromo.com | support by GO.WEB